Urung Jadi Cagub

“KUDENGAR kau menarik diri dari pencalonan Gubernur DKI Jakarta, apa benar itu, Dul?” tanya seseorang sebelum Dul Karung meletakkan bokongnya ke bagian yang kosong dari bangku panjang satu-satunya di warung kopi Mas Wargo.
“Hem em,” jawab Dul Karung dengan kata tanpa makna keluar dari mulut yang penuh singkong goreng.
Seperti biasa, setelah memberi salam Dul Karung masuk ke warung dengan tangan langsung menyambar singkong goreng dan mencaploknya.
“Lha, apa modalnya si Dul berani-beranian mencalonkan diri jadi Gubernur DKI? Jadi pelayan di warung ini pun dia belum tentu mampu,” komentar dan ejek orang yang duduk di ujung kanan bangku panjang.
Beberapa orang yang mendengar pun tersenyum. Bahkan ada yang tertawa secara terbuka. Dan Dul Karung tersedak sampai terbatuk-batuk.
“Apa benar itu Dul? Benar kau pernah mendaftarkan diri sebagai calon gubernur?” tanya Mas Wargo dengan suara dan sorot mata yang mengisyaratkan rasa penasaran.
“Sebagai Betawi 24 karat, aku pernah berpikir apa salahnya aku mencoba mencalonkan diri jadi gubernur. Kupikir orang tak perlu pandai-pandai amat untuk bisa menjadi gubernur. Bahkan menjadi presiden sekalipun. Yang penting dia memiliki seperangkat pembantu dan staf yang cerdas. Kan untuk hal-hal teknis bukan gubernur atau presiden sendiri yang bekerja,” kata Dul Karung membuat orang yang mendengarnya heran.
“Kalau jalan pikiranmu begitu, sampai dunia ini tujuh belas kali kiamat pun takkan ada orang yang mau memilihmu menjadi gubernur,” tanggap orang yang duduk tepat di kanan Dul Karung.
“Itulah salah satu sebab mengapa aku menarik diri dari pencalonan. Aku ini orang yang tahu diri. Ketika merasa tak layak memangku suatu jabatan, aku tak akan memaksakan diri,” kata Dul Karung sedikit pongah.
“Kata orang-orang pandai, luas jalan dan ketersediaan transportasi massal untuk sekitar 20 juta orang yang bergerak di Jakarta, jauh dari memadai. Padahal bila pergerakan manusia itu terganggu, pergerakan ekonomi akan macet.
Mobil dan motor tiap hari bertambah 1.127 unit, atau 2.027 bila ditambah dengan Depok, Tangerang, dan Bekasi. Sedangkan pertambahan ruas jalan masih kurang dari 0,5 persen setahun. Nah, apa itu bukan “setan gundul” kemacetan yang menakutkan? Belum lagi bicara soal banjir. Posisi Jakarta yang menjadi tempat pertemuan air yang turun dari hulu dengan yang naik dari permukaan laut adalah penyebab utama banjir.
Itu sebab yang lainnya mengapa aku urung jadi cagub. Besok-besok kalau ada cagub yang kampanye mengatakan bisa mengatasi macet dan banjir di DKI Jakarta, jangan buru-buru percaya,” kata Dul Karung yang pergi sebelum ada orang yang menyanggah pendapatnya.

0 komentar:

Posting Komentar