Industri gula bangkit kembali sedikit demi sedikit setelah adanya perdamaian dengan Banten. Pada tahun 1710 tercatat 131 penggilingan, yakni 49 buah di sebelah barat Sungai Ciliwung dan 82 buah di sebelah timur. Karena kekurangan bahan bakar, industri gula menurun kembali. Pada tahun 1779 masih tersisa 55 penggilingan, yakni 36 di barat dan 19 di timur. Pemiliknya adalah orang China 26, orang Eropa 24, dan Kompeni 5.
Penurunan jumlah penggilingan juga disebabkan adanya kebiasaan berladang secara berpindah yang tidak terkendali. Pada tahun 1790 Teisseire mencatat 48 penggilingan yang berfungsi, 33 di barat dan 15 di timur. Disayangkan, perkebunan tebu telah mencemari sungai-sungai di Batavia. Maka sekitar tahun 1815 para pejabat memindahkan pabrik gula dari Batavia ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pembudidayaan tebu yang dilakukan orang-orang China banyak memberi pelajaran kepada masyarakat pribumi. Tadinya penyiraman tebu dilakukan dengan ember, tapi berkat penemuan orang China, diganti pompa berpedal. Dengan demikian tenaga manusia bisa dihemat.
Rumputnya dibersihkan dengan bajak atau pacul, juga berasal dari China. Untuk memutar gilingan tebu, digunakan lembu. Pengangkutan tebu menggunakan gerobak yang ditarik lembu. Karena tenaga manusia sudah tergantikan, maka produksi sirop dan gula menjadi dua kali lipat dari biasanya. Ketika itu kebiasaan menggunakan hewan, dikenal luas di China.
Di dekat penggilingan, tersedia kuali-kuali besar untuk memanasi air tebu. Kuali merupakan nama wadah yang berasal dari China dan sampai kini masih disebut dengan nama yang sama. Dari kuali air gula dialirkan ke tempolong. Penjualan gula sangat bagus.
Jumlah itu masih ditambah dengan hasil penjualan tetes yang disimpan untuk dikirim ke pabrik arak. Dari penggilingan tebu juga terdapat beberapa kosakata China yang sampai sekarang masih dikenal, seperti kongsi (rumah perkebunan) dan lio (salah satu suku cadang penggiling yang berbentuk segitiga).
0 komentar:
Posting Komentar